Senin, 24 Oktober 2011
Rabu, 19 Oktober 2011
Melacak Jejak Kebudayaan Lewat Komik
Judul: Panji Tengkorak, Kebudayaan dalam Perbincangan
Penulis: Seno Gumira Adjidarma
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: 2011
Dari sebuah artifak budaya dapat dilihat bagaimana
sebuah kebudayaan berlangsung. Artinya,
kompleksitas budaya dapat dilihat dengan melakukan pembacaan terhadap
artifak ataupun teks. Berbagai kekuatan maupun kekuasaan yang melatari
sebuah budaya dapat ditelusuri lewat proses ini.
Begitu pula dengan komik. Komik sebagai sebuah artifak yang
lahir dalam sebuah masyarakat, diyakini merepresantasikan kedalaman
sebuah budaya. Ia tidak hanya sebuah karya seni,
melainkan juga sebuah sejarah panjang ideologis, termasuk komik
Indonesia.
Dikatakan sejarah panjang karena tidak ada satu pun
komikus Indonesia, terutama komikus di tahun
1960-an hingga tahun 1970-an. yang membuat komik tanpa mempelajari
gagasan, cara bertutur, gaya maupun teknik menggambar dari berbagai
macam komik yang memasuki Indonesia, misalnya saja komik Amerika.
Hal ini memperlihatkan bahwa komik-komik asing memengaruhi
perkembangan komik Indonesia. Jika ini dikaitkan dengan dinamika
pemasaran, ataupun tarikan ideologi maupun politik identitas
kekuasaan, maka komik Indonesia menjadi sebuah wilayah pertarungan
ideologi.
Dalam buku ini, Seno Gumira ingin membuktikan hal
itu lewat risetnya atas komik Indonesia. Untuk itu ia mengambil pilihan
komik Panji Tengkorak. Panji Tengkorak karya Hans Jaladara
pernah populer di tahun 1960-an.
Komik ini kemudian
mengalami perubahan dalam setiap penerbitan ulangnya, baik dari segi
visual maupun tekstual. Perubahan itu terjadi pada tahun 1985 dan tahun
1996. Dengan begitu, komik Panji Tengkorak yang ditampilkan
sebagai perbandingan ialah komik dengan tahun terbitan 1968, 1985 dan
1996.
Kajian budaya yang dilakukan oleh Seno ini adalah
sebuah strategi untuk membongkar aneka tarikan ideologi yang terdapat di
dalamnya. Bahkan pergulatan sang autor pun dapat ditelusuri dengan
metode kajian budaya ini.
Dari “pembacaan” terhadap
ketiga komik tersebut, ada sejumah catatan yang dihasilkan Seno.
Pertama komik adalah sebuah konstruksi realitas. Artinya dalam Panji
Tengkorak terdapat tanda-tanda yang mengacu pada realitas, yakni jejak
kebudayaan itu sendiri.
Komik juga berusaha
melepaskan diri pembebanan wacana dominan dan pengalamiahan kebudayaan.
Sebab pada dasarnya kebudayan adalah proses yang dirancang, dan bukan
terjadi dengan sendirinya.
Selain itu, yang menarik,
dari komik Panji Tengkorak adalah, dapat
diketahuinya identitas serta kompleksitas sang pengarang, yakni Hans
Jaladara, yang bernama asli Liem Tjong Han.
Dalam komik Panji Tengkorak, Hans Jaladara memang
terkesan anonimistik, enggan menyebutkan identitasanya sebagai keturunan
Tionghoa. Barangkali ini diakibatkan iklim diskriminatif tethdap kaum
keturunan Tionghoa.
Namun, ditemukannya istilah maupun penamaan terhadap
jurus silat tertentu, tampaklah isyarat bahwa pembuat komik Panji
Tengkorak dekat dengan kultur Tionghoa.
Dari buku ini dapat terlihat bahwa pelacakan jejak budaya
lewat kajian budaya, dapat diketahui bagaimana sebuah budaya terbetuk,
serta bagaimana ideologi serta kepentingan saling bertarung di
dalamnya.***
Minggu, 09 Oktober 2011
Pemaknaan Hidup Jakob Oetama
Judul: Syukur Tiada Akhir
Penulis: St. Sularto
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: September 2011
Halaman: 669
Kepekaan terhadap realitas, ketajaman
menganalisa, kekritisan melihat fenomena, dan kejernihan dalam berpikir,
merupakan hal yang harus dimiliki wartawan. Jika tidak, ia tidak dapat
berbuat banyak untuk kemanusiaan.
Itulah
yang berkali-kali ditekankan oleh Jakob Oetama. Bagi tokoh pers yang
lebih dari setengah abad membuktikan kesetiaannya terhadap profesi
jurnalistik itu, tugas wartawan adalah kesetiaan pada obyektivitas,
kebenaran dan pembangunan manusia.
Bagaimana
idealisme itu terbentuk? Dalam buku ini dijelaskan, latar belakang
pendidikannya di seminari, persentuhan dengan sastra Barat, serta
pertemuan dengan filsafat telah menjadi ladang persemaian kepekaan dan
orientasi nilainya dalam menjalankan profesi wartawan.
Bagi Jakob, pers harus bertindak bijaksana dalam
masyarakat yang terus berubah. Pers harus dapat melihat gejala-gejala
dan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat.
Dengan
begitu, pers dapat memberikan sumbangan yang maksimal bagi masyarakat.
Sebab, esensi pers ataupun media massa adalah manusia dan peristiwa
kemanusiaan. Jadi, pilihan orientasinya pun harus kemanusiaan.
Baginya,
pers juga harus menjadi wahana dialog antara pemerintah dan masyarakat.
Tujuannya, agar pembangunan terus bergerak maju, serta dapat menjaga
terselenggaranya demokrasi yang sehat.
Terkait
hubungan antara pers dan kekuasaan, Jakob sempat diancam oleh
pemerintah untuk menghentikan kegiatan surat kabar yang dipimpinnya. Ini
terjadi pada 5 Februari 1978. Harian itu, Kompas, boleh terbit
kembali jika Jakob mau menandatangani surat permintaan maaf dan
kesetiaan terhadap pemerintah.
Butir
yang termasuk dalam kesetiaaan tersebut diantaranya adalah tidak
mempersoalkan Dwi Fungsi ABRI, tidak menurunkan berita yang memperuncing
konflik, dan tidak menulis tentang asal-usul kekayaan Presiden Soeharto
(hal. 24). Dengan berat hati, Jakob menandatangani surat tersebut. Hal
ini mengundang pro dan kontra.
Namun
Jakob punya alasan. Pertama, dengan sikap yang terkesan
kompromistis itu, ia masih dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat. Jika
media sudah menjadi mayat, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, begitu
ia mengistilahkan.
Kedua, saat itu ia memikirkan hidup
2.000 karyawannya yang bergantung kepada harian itu Belum lagi mereka
yang secara tidak langsung memperoleh berkah dari terbitnya harian Kompas
seperti agen koran ataupun pengecer koran.
Jika
saja hari itu Jakob mengikuti kehendak PK Ojong, salah satu pendiri Kompas,
untuk tidak menandatangani surat itu, mungkin sejarah pun berbeda.
Barangkali harian itu kini tinggal sejarah.
Namun,
bagi sosok yang lebih senang disebut wartawan ketimbang pengusaha itu,
apa yang ia lakukan saat itu bukanlah
semata-mata hasil keputusannya, namun karena penyelenggaraan Allah (providentia
dei). Itu sebabnya Jakob menekankan perlunya untuk bersyukur tiada
henti untuk semua yang telah terjadi.
Buku ini tidak hanya
berisi bagaimana wartawan harus menjalankan profesinya, namun juga
bagaimana setiap orang harus memaknai segala peristiwa dan pencapaian
dalam hidupnya sebagai anugerah dan berkat dari yang di Atas.***
Selasa, 20 September 2011
Kebusukan di Balik Coca Cola
Judul : The Coke Machine,
Kebenaran Kotor di Balik Minuman Ringan Favorit Dunia
Penulis : Michael Blanding
Penerbit : Elex Media Komputindo
Terbit : 2011
Halaman : 420 Halaman
Harga : Rp. 99.800
Korporasi raksasa yang mendunia selalu memiliki dua wajah yang bertolak belakang Di satu sisi ia dapat tampil cantik, namun di sisi lain ia memiliki wajah buruk yang selalu ingin dirahasiakan.
Begitu juga dengan perusahaan minuman ringan bersoda The Coca Cola Company. Perusahaan yang telah mendunia ini dilaporkan memiliki sejumlah persoalan yang selama ini tidak diketahui oleh publik.
Buku yang ditulis oleh Michael Blanding ini menjelaskan bagaimana kemajuan perusahaan yang berdiri pada tahun 1892 itu bukan semata-mata karena kehebatan produknya, namun karena iklan.
Iklan Coca Cola yang begitu hebat telah membentuk berbagai citra tentang Coca Cola. Tak ayal lagi, Coca Cola tidak hanya sekadar brand yang mendunia, namun juga sebuah kultur.
Sebagai sebuah kultur Coca Cola menjadi bagian dari keseharian, terutama orang-orang Amerika. Konsumsi Coca Cola pun menjadi sebuah simbol ataupun identitas masyarakat Amerika.
Hasilnya, lingkar pinggang orang Amerika kian membesar. Penelitian menunjukkan bahwa minuman soda yang ditambahkan pada porsi setiap kali makan, akan menambah kemungkinan kegemukan sekitar 60 persen (hal. 90).
Di samping itu, Coca Cola pun telah masuk dalam dalam ritus-ritus keagamaan dan praktik budaya. Masyarakat yang hidup di perbukitan Chiapas Highlands, Meksiko, misalnya, kini telah melibatkan "si kaleng merah" dalam ritual-ritual keagamaan, ia menjadi bagian dari pemujaan.
Hal ini menunjukkan bagaimana Coca Cola telah mengubah kode-kode dalam praktik ritual. Ia telah menjungkirbalikkan nilai-nilai otentik budaya lokal. Jika memang Coca Cola concern dengan keberlangsungan budaya lokal, seharusnya ia dapat mengendalikan ini.
Persoalan yang harus dihadapi Coca Cola adalah persoalan pelanggaran hak-hak asasi buruh. Ini terjadi di Columbia. Di negara ini sejumlah kasus yang berakhir pada kematian buruh pabrik Coca Cola, beberapa kali terjadi.
Tuntutan buruh untuk memperoleh hak-haknya ternyata tidak selalu mendapat respon positif. Bahkan Dalam buku ini disampaiakan justru perusahaan yang berusaha untuk menghancurkan serikat pekerja yang menuntut hak-haknya.
Malah, dilukiskan dalam buku ini adanya kemungkinan disewanya tentara bayaran untuk menghentikan gerakan serikat pekerja. Di negeri yang sama juga dilakukan montaje judicial atau jebakan pengadilan terhadap para aktivis serikat pekerja.
Masalah lain yang terus menyudutkan Coca Cola adalah pencemaran lingkungan. Dari India dilaporkan bahwa perusahaan minuman bersoda itu telah mencemari lingkungan. Mereka membuang limbah pabrik dengan seenaknya.
Limbah pabrik itu telah memperburuk kondisi lingkungan. Bahkan hewan-hewan peliharaan mati karena meminum air dari sungai yang tercemar. Keinginan untuk mengubah keadaan ini juga tidak kunjung muncul.
Catatan lain tentang buku ini ialah, adanya ketidakberimbangan dalam menampilkan fakta mengenai Coca Cola. Hasilnya, buku ini terkesan sebagai black campaign terhadap perusahaan asal Amerika Serikat itu...***
Judul: Coke Machine
Penulis: Michael Blanding
Penerbit: Elex Media
Halaman: 420 halaman
Harga: Rp. 99.800
Kamis, 01 September 2011
Sejarah Kretek Jawa
Judul: Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Penulis: Rudy Badil
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Halaman: xxvii + 171 halaman
Terbit: Agustus 2011
Harga: Rp. 175.000 (soft cover)
Kretek bukan sekadar komoditi. Dalam
perjalanan sejarahnya ia juga membentuk sebuah kultur. Tidak hanya
memasyarakatnya kebiasaan mengisap kretek, namun juga dampak
industrialisasi kretek itu sendiri.
Kebiasaan
mengisap rokok sebenarnya sudah lama dikenal oleh masyarakat, khususnya
Jawa. Sejumlah sumber susastra lama menyiratkan hal itu, meskipun tidak
ada kejelasan apakah apa yang mereka isap saat itu merupakan rokok
tembakau seperti yang kita kenal sekarang.
Menurut
hasil rieset Zoetmulder yang dikutip dalam buku ini, dalam kitab-kitab
lama ada kata dasar udud yang diartikan sebagai rokok.
Jika benar kata udud memiliki arti rokok seperti yang
dikenal dalam bahasa Jawa saat ini, maka itu berarti kebiasaan merokok
sudah dikenal lama dalam masyarakat Jawa.
Lalu
dari mana asal-usul kata kretek? Kretek diperkirakan muncul berdasarkan
onomatope atau sebutan yang dimunculkan berdasarkan bunyi. Hal ini
disebabkan rokok tembakau yang ditambah cengkeh akan
menimbulkan bunyi kretek-kretek.
Ada beberapa hal menarik yang disampaikan dalam buku ini. Salah
satunya adalah mengenai buruh pabrik kretek. Sebuah pabrik kretek besar
di Kudus, Jawa Tengah, misalnya, menjadi gantungan hidup bagi 75.000
buruh, baik dari Kudus ataupun kota-kota di sekitarnya.
Para
buruh ini terutama bekerja untuk memproduksi kretek lintingan. Kretek
lintingan tidak diproduksi dengan mesin, melainkan mengandalkan
kelincahan, kecepatan dan keterampilan jemari para buruh.
Dari
data yang ada, kehadiran para buruh kretek ini berhasil menggerakkan
roda ekonomi lainnya. Sebut saja pemilik mobil angkutan umum, perahu
penyeberangan, hingga para pedagang, rentenir, penitipan sepeda, yang
hadir saat pasar dadakan muncul di sekitar brak (barak)
penampungan para buruh.
Dapat diduga, akan ada banyak sendi ekonomi rakyat yang lumpuh jika
industri rokok mengalami kebangkrutan. Apalagi kini kampanye anti rokok
kian gencar. Tampaknya otoritas terkait harus memberikan solusi jika
memang industri rokok harus dibatasi.
Hal
menarik lain yang diungkap dalam buku ini adalah mengenai label produk
kretek yang beredar di pasaran. Dalam buku ini terungkap, pemberian
label tidak sekadar perkara visual, namun juga bentuk simbolik dari
ruang lingkup kebudayaan di jamannya, yang disebut juga sebagai “simbol
ekspresif”.
Lalu bagaimana dengan merek? Merek pun
memiliki cerita lain. Buku ini mengungkapkan merek atau brand kretek
selalu berkaitan dengan filosofi, keyakinan, dan inspirasi. Merek seakan
memiliki kebermaknaan, baik bagi produsen kretek maupun konsumennya.
Memilih merek pun sering dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya mengaitkannya dengan harapan-harapan, falsafah yang diyakini
akan membawa dampak positif. Etnis Tionghoa misalnya
mengombinasikan benda ataupun angka agar produknya lebih mudah diterima
masyarakat.
Buku ini secara umum berisi sejarah
industri kretek, terutama sebelum masa kemerdekaan. Dari paparan sejarah
tersebut pembaca dapat melihat pasang surut indutri kretek di Jawa.
Dari sini dapat dinilai pengelolaan komoditi secara benar dapat
memberikan banyak manfaat bagi pendapatan negara.***
Jumat, 19 Agustus 2011
Mochtar Lubis dalam Perspektif Kritis
<!--[if gte mso 9]>
Judul : Jurnalisme dan Politik di Indonesia
Penulis :
David T Hill
Penerbit :
Yayasan Obor Indonesia
Terbit :
I, Agustus 2011
Tebal : 362 halaman
Harga : Rp. 75.000
Mochtar Lubis adalah ikon pers Indonesia. Keberaniannya
mengritik penguasa terus menjadi buah bibir hingga kini. Karena kritikan
tersebut, pemerintah acap kali merasa jengah. Buntutnya,
Mochtar dijebloskan ke penjara.
Buku ini tampaknya ingin memperlihatkan bagaimana sepak
terjang Mochtar Lubis di jagat pers dan kaitannya dengan dinamika
politik nasional. Tidak hanya karena posisinya sebagai pemimpin Indonesia
Raya yang bertiras besar dan berpengaruh, namun karena Mochtar
memiliki garis moral perjuangan yang sulit digeser, yang tercermin lewat
gaya jurnalistiknya.
Garis moral tersebut kira-kira, selalu kritis terhadap
kecenderungan negatif penguasa seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang,
penyelewengan jabatan, serta kemerosotan moral pemangku kekuasaan.
Ketika Presiden Soekarno menikahi Hartini misalnya, Indonesia
Raya jelas-jelas mengritiknya. Bahkan Mochtar terang-terangan
menyerang Soekarno (Hal. 57). Soekarno pun gerah dengan "ulah" Mochtar
tersebut..
Krtik keras Mochtar tak berhenti di situ, melainkan juga
ketika Konferensi Asia-Afrika berlangsung pada tahun 1955. Saat itu ia mengritik panita "keramahtamahan" yang
"menyediakan" perempuan untuk menyenangkan para delegasi.
Ketika Indonesia Raya berada di Orde Baru, orientasi
perlawanannya tidak berubah. Meskipun pada awalnya harian ini mendukung
garis kebijakan Suharto, namun ia tetap kritis. Misalnya saja kritik
kasus korupsi Pertamina oleh Ibno Sutowo yang memiliki kedekatan dengan
Presiden Suharto.
Namun, sikap keras Mochtar Lubis tidak selalu menuai pujian
dari orang-orang yang mendukung perjuangannya. Sebaliknya, ia memperoleh
kritik. Keberpihakannya membuat pemberitaannya menjadi tidak seimbang.
Pernyataan antikomunis di Indonesia Raya misalnya,
selalu memperoleh ruang yang besar. Sebaliknya, pemberitaan atau statement
yang mendukung komunis, selalu memperoleh porsi yang lebih sedikit.
Bahkan pada peristiwa berikutnya, Mochtar Lubis menolak
penyelenggaraan Pekan Film Rusia pada tahun 1969. Soe Hok Gie mengritik
halini. Soe Hok Gie menuduh Mochtar sebagai orang yang berpandangan
sempit sekaligus seorang pelacur intelektual.
Selain itu, buku ini juga menyinggu Mochtar Lubis sebagai
seorang sastrawan. Protesnya terhadap pemerintah, deskripsi sebuah
situasi moral, ataupun eksplanasi kondisi saat menjalankan tugas
jurnalistik, ia ungkapkan lewat karya-karya
sastranya.
Ini yang membuat Mochtar Lubis menonjol sebagai sastrawan.
Sejumlah pengakuan internasional ia peroleh karena karya-karya sastranya
tersebut. Kepiawainnya tidak hanya teruji di bidang jurnalistik, namun
juga di dunia kepengarangan.
Sebagai sebuah biografi kritis, buku ini memberikan perspektif
yang lebih luas mengenai Mochtar. David T Hill tidak berpretensi
memuji-muji Mochtar, namun juga memperlihatkan sisi manusiawi Mochtar.
Pada buku ini Mochtar beberapa kali digambarjan sebagai sosok yang dapat
juga meletupkan kebencian, kesumat, hingga kekeraskepalaan.
Itulah Mochtar Lubis, meskipun perjuangannya tak sepi kritik,
namun ia selalu memegang teguh nilai-nilai yang diyakininya.***
dimuat di harian Koran Jakarta, 2 Sepetember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar